
Pengeran Diponegoro lahir di
Yogyakarta, pada 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Antawirya.
Diponegoro merupakan putra sulung Hamengkubuwono III, Raja Mataram di
Yogyakarta dengan seorang garwa ampeyan (istri
non permaisuri) bernama R. A Mangkarawati yang berasal dari Pacitan, Jawa
Timur
Menyadari kedudukannya sebagai
putra selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya yang ingin menjadikannya
sebagai raja. Dibanding menjadi raja, Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada
kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo,
daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwono V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwono V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang
patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, Diponegoro memang
sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat
dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka ternyata mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah “Perang Sabil” atau perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830 dan sebagai penanda berakhirnya Perang Diponegoro
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka ternyata mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah “Perang Sabil” atau perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830 dan sebagai penanda berakhirnya Perang Diponegoro
Diponegoro wafat pada 8 Januari
1855 di Makassar, Sulawesi Selatan pada usia 69 tahun. Beliau juga dimakamkan di Makassar,
Sulawesi Selatan.